Analisis Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

Oleh: Djoko Heroe soewono

ABSTRAK
 Indonesia sebagai negara hukum memberkan jaminan hidup dan bebas dari perlakuan bersifat diskriminatif. Demikian pula perlindungan hak asasi manusia merupakan kewajiban pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan, maupun penindakan pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Cita hukum dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat, pekerja, dan pengusaha dalam hubungan kerja wajib menjamin aspek keadilan, yang pada gilirannya dapat mewujudkan nilai kemanfaatan bagi kepentingan pelaku ekonomi dan pengguna produksi.
Keywords : Hukum Ketenagakerjaan, Keseimbangan Kepentingan, Kesejahteraan pekerja.

A. Latar Belakang Permasalahan
Pembangunan nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum.
Seiring dengan pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku dunia usaha berbenah diri pasca krisis ekonomi dan moneter untuk bangun dari mimpi yang buruk, serta terpaan gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia tenggara, di mana Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan masyarakat, terutama para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk menstabilkan perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter serta menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang berdampak terhadap sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Sarana yang cukup efektif dalam upaya menjaga kesinambungan antara pelaku usaha dan pekerja dalam hubungan kerja, yakni eksistensi hukum ketenagakerjaan yang mengatur pelbagai hak, kewajiban serta tanggungjawab para pihak. Selain sarana tersebut, perjanjian kerja bersama (PKB), lembaga bipartit, tripartit, serikat pekerja, organisasi pengusaha, serta mediasi yang diperankan pemerintah merupakan wujud eksistensi hukum ketenagakerjaan.
Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum[2]. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan hukum.
Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum ketenagakerjaan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama, hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat mencerminkan produk hukum yang sesuai  cita-cita keadilan dan kebenaran, berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam  proses produksi. Hukum ketenagakerjaan tidak semata mementingkan pelaku usaha, melainkan memperhatikan dan memberi perlindungan kepada  pekerja yang secara sosial mempunyai kedudukan sangat lemah, jika dibandingkan dengan posisi pengusaha yang cukup mapan. Hukum memberi manfaat terhadap prinsip perbedaan sosial serta tingkat ekonomi bagi pekerja yang kurang beruntung, antara lain seperti tingkat kesejahteraan, standar pengupahan serta syarat kerja, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan selaras dengan makna keadilan menurut ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Demikian pula ketentuan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” ; Kedua, hukum normatif pada tingkat implementasi memberikan kontribusi dalam bentuk pengawasan melalui aparat penegak hukum dan melaksanakan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan hukum.
Hukum dasar memberikan kedudukan kepada seseorang pada derajat yang sama satu terhadap lainnya. Hal ini berlaku pula bagi pekerja yang bekerja pada pengusaha, baik lingkungan swasta (murni), badan usaha milik negara maupun karyawan negara dan sektor lainnya. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal 28I UUD 1945, yakni : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun…”, bahkan Pasal 28I ini memberikan perlindungan bagi mereka, meluputi pula pekerja atas perlakuan diskriminatif. Pernyataan ini menegaskan adanya kewajiban bagi pengusaha untuk memperlakukan para pekerja secara adil dan proporsional sesuai asas keseimbangan kepentingan. Dalam posisi ini pekerja sebagai mitra usaha, bukan merupakan ancaman bagi keberadaan perusahaan.
Hukum sebagai pedoman berperilaku harus mencerminkan aspek  keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, serta negara. Di samping mendorong terciptanya ketertiban, kepastian hukum, kesamaan kedudukan dalam hukum dan keadilan.
Hukum ketenagakerjaan (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) ditetapkan sebagai payung hukum bidang hubungan industrial dan direkayasa untuk menjaga ketertiban, serta sebagai kontrol sosial, utamanya memberikan landasan hak bagi pelaku produksi (barang dan jasa), selain sebagai payung hukum hukum ketenagakerjaan diproyeksikan untuk alat dalam membangun kemitraan. Hal ini tersurat dalam ketentuan Pasal 102 (2) dan (3) UU. No. 13 Tahun 2003). Ketentuan ini terlihat sebagai aturan hukum yang harus dipatuhi para pihak (tanpa ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan makna kemitraan). Sekilas dalam ketentuan Pasal 102 (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, menyatakan  bahwa : “…pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan…” Hal ini belum memberi kejelasan yang konkrit bagi masyarakat industrial yang umumnya awam dalam memahami ketentuan hukum. Ironinya hukum hanya dilihat sebagai abstraktif semata.
Demikian pula terhadap Pasal 102 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 bahwa pada intinya pekerja dalam melaksanakan hubungan industrial berkewajiban untuk menjalankan pekerjaan demi kelangsungan produksi, memajukan perusahaan, dan sisi lain menerima hak sebagai apresiasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, selain menjalankan fungsi lainnya, melalui serikat pekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan anggota serta keluarganya dengan tetap menjaga ketertiban dan kelangsungan produksi barang dan/atau jasa dan berupaya mengembangkan keterampilan serta memajukan perusahaan.
Secara tersirat hal ini merupakan bentuk partisipasi pekerja dalam keikutsertanya menjaga ketertiban, memajukan perusahaan, serta memperhatikan kesejahteraan, namun redaksi ini kurang dapat dipahami para pihak, bahkan pemaknaan demikian kurang adanya keperdulian, khususnya dari pihak pengusaha, sehingga hal ini sering memicu perselisihan hak dan kepentingan yang berujung pada aksi unjuk rasa serta mogok kerja. Jika makna ini dipahami sebagai kemitraan, maka akan menjauhkan dari pelbagai kepentingan pribadi.
Berbeda, jika masyarakat industrial memahami sebagai aturan hukum yang harus dipatuhi tanpa harus mendapatkan teguran dari pemerintah sesuai ketentuan Pasal 102 (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, dan memahami sebagai landasan dalam membangun hubungan kemitraan, hanya saja ketidak patuhan dalam membangun kemitraan tidak ada sanksi hukum yang mengikat bagi para pihak. Hal ini sebagai kendala dalam menciptakan hubungan kemitraan.
Sekilas telah disebutkan dasar filosofis mengenai ketentuan Pasal 102 (2) dan  (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, bahwa penanaman asas keseimbangan kepentingan   dalam aturan hukum yang mengandung nilai kejujuran, kepatutan, keadilan, serta tuntutan moral, seperti hak, kewajiban dan tanggungjawab) dalam hubungan antara manusia sesuai dengan sila-sila Pancasila, di mana pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik yang bernilai kemanusiaan, tidak ada diskriminasi, serta mencari penyesuaian paham melalui musyawarah-mufakat dalam membangun kemitraan dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, dan melalui bangunan kemitraan para pihak menjaga kondisi kerja secara kondusif, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan para pekerja maupun  keluarganya, sebaliknya para pekerja melaksanakan kewajiban sesuai aturan yang berlaku dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Hal ini pada gilirannya akan tercipta  suatu bangunan kemitraan. Keserasian ini merupakan manifestasi, bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima serta percaya segala apa yang dimiliki merupakan amanah Allah untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Perekat pada ranah kenegaraan dan sekaligus sebagai landasan filosofis hubungan sosial, yakni hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, yaitu Pancasila.
Pancasila merupakan ajaran yang mengandung nilai fundamental dalam hubungan sesama manusia dan mencerminkan asas normatif sebagai dasar perekat hubungan kerja, khususnya antara pengusaha dengan pekerja, alam, negara, dan Tuhannya. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila akan tercipta hubungan harmonis, sejahtera, terjalin keseimbangan hak dan kewajiban, khususnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja karena itulah perlu ditanamkan nilai kejujuran, transparansi, asas keseimbangan yang berkeadilan serta rasa kekeluargaan dan kegotong-royongan yang berkelanjutan sehingga nilai-nilai tersebut, akan hidup dan berkembang secara lestari.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari hal tersebut di atas dapat dirumuskan masalah bahwa apakah hukum ketenagakerjaan dapat diproyeksikan sebagai hukum yang mempunyai landasan normatif, yaitu berkepastian hukum dan landasan filosofis yang berdasar keadilan serta kemanfaatan bagi pelaku produksi (barang atau jasa). Cakupan permasalahan tersebut cukup luas, selain aspek kepastian hukum, keadilan, juga mempermasalahkan dari pendekatan utilitarianisme. Ketiga aspek tersebut bergulir pada 2 (dua) masalah pokok yang bersifat makro dan mikro. Dalam perspektif makro, menjangkau nilai keadilan dan aspek kemanfaatan, sedang dalam perspektif mikro mempersoalkan ada-tidaknya jaminan kepastian hukum dan keseimbangan kepentingan dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Kedua masalah tersebut, akan dilakukan kajian secara simultan dan komprehensif, karena kedua aspek tersebut di atas, tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Di mana kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan merupakan pilar-pilar penegakan hukum yang mempunyai nilai signifikan terhadap keseimbangan kepentingan antara pengusaha dengan pekerja dalam hubungan kerja, dan dilain pihak mempunyai implikasi terhadap kepentingan masyarakat luas, terutama ketika timbul perselisihan hak dan kepentingan yang tidak dapat  dikendalikan akan bergulir ke arah unjuk rasa yang bernuansa masal.

C. Pembahasan
Pada dasarnya proses produksi barang dan/ atau jasa yang dilakukan para pelaku produksi, yakni pengusaha dan pekerja tidak dapat terlepas dari keterlibatan negara melalui terbitnya peraturan hukum yang protektif, berdaya paksa dan sanksi, yakni Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan segala peraturan pelaksananya. Aturan ini  berdiri pada ranah publik dan privat. Hal ini dapat diketahui dari sifatnya yang protektif, daya paksa dan pemberian sanksi (nestapa)[3], sedangkan sifat privatnya diketahui dari hubungan hukum kontraktual yang terdiri para pihak dalam rangka melakukan kegiatan produksi, yang saling menghormati mengenai hak, kewajiban serta tanggung-jawab masing-masing dengan  berasaskan keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum[4], dan satu ciri negara hukum adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila harus mencerminkan adanya jiwa bangsa dan menjiwai, serta mendasari peraturan hukum yang berlaku dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum dan tata tertib, yang mengandung konsekuensi juridis bahwa setiap warga masyarakat dan pejabat negara, di mana segala tindakannya harus berdasarkan hukum.
Istilah negara hukum (rechtsstaat) dipergunakan Rudolf von Gneist (Jerman 1816 -1895) abad XIX dalam karyanya : “das Englische Verwaltungerechte” untuk pemerintahan Inggris[5]. Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah negara hukum dirumuskan sebagai negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (tata tertib berdasarkan hukum) serta agar semuanya berjalan menurut hukum.[6] Istilah negara hukum mempunyai padanan kata pula dengan “The Rule of Law”. Hal ini dikemukakan Sunaryati Hartono, yaitu : “Oleh sebab itu, agar supaya tercipta negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, pengakuan “The Rule of Law” itu harus diartikan secara  materiil[7]”.
Menurut Schelterma sendiri elemen rechtsstaat, yakni : Pertama, kepastian hukum (meliputi asas legalitas, undang-undang yang mengatur tindakan penegak hukum, undang-undang tidak berlaku surut, hak asasi manusia dijamin undang-undang, pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain). Kedua, persamaan (tindakan yang berwenang diatur undang-undang dalam arti materiil, serta pemisahan kekuasaan) ; Ketiga, demokrasi (hak  memilih dan dipilih, peraturan badan yang berwenang ditetapkan parlemen, serta parlemen mengawasi tindakan pemerintah) ; Keempat, pemerintah untuk rakyat (hak asasi manusia dijamin Undang-Undang Dasar, dan pemerintah secara efektif dan efisien)[8]. Mukthie Fadjar menyatakan bahwa syarat mutlak dan ciri khas negara hukum, yakni asas pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia, asas legalitas… [9]. Dari pelbagai pandangan di atas dapat dipahami bahwa eksistensi Indonesia sebagai negara hukum teridentifikasi dalam UUD.’45, yang secara eksplisit tercantum dan tersebar dipelbagai pasal-pasal, yaitu : Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1),  Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28, Pasal 28 A, Pasal 28B, Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28 I ayat (1), (2), (5) dan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945. Pasal- Pasal tersebut, secara umum merupakan manifestasi dari suatu ciri negara hukum, adapun secara khusus sebagai landasan hukum ketenagakerjaan, terutama pada ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28I (2) UUD’45. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hukum ketenagakerjaan sebagai norma hukum yang bersifat normatif, dan merupakan landasan hukum dalam hubungan (kerja) industrial,  sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan UUD. 1945, yang selanjutnya diterbitkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berdasar ketentuan Pasal 5   (1), jo. Pasal 20 ayat (2), jo. Pasal 27 ayat (2), jo. Pasal 28, jo. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berkarakter kepastian hukum, serta keadilan sebagai ciri negara hukum.
Asas kepastian hukum sebagai ciri negara hukum diatur pula dalam hukum pidana   Pasal 1 (1) KHUP, berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas hukum (legalitas) dalam arti sempit dikenal dengan adagium : “Nullum Delictum, Nulla Poena, Sine Praevia Lege Poenale”, sedangkan dalam makna luas (meliputi hukum acara pidana), Jaksa wajib menuntut semua orang yang dianggap telah cukup alasan bahwa ia telah melanggar hukum”.
Bagaimana dengan hukum ketenagakerjaan yang mempunyai dua ranah hukum ? yakni hukum bersifat publik dan privat. Dalam hal ini, seperti yang telah diuraikan sekilas di atas, bahwa hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat protektif, daya paksa dan pemberian sanksi, sedangkan pada ranah privat ada hubungan hukum yang bersifat kontraktual dalam rangka melakukan kegiatan produksi berdasarkan asas keseimbangan kepentingan.
Sebagaimana halnya hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi dan tujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat, khususnya hubungan antara pengusaha dengan pekerja dalam kegiatan proses produksi barang dan jasa, yang mengandung serta mencerminkan nilai kepastian hukum, nilai kegunaan (manfaat), dan nilai keadilan[10]. Di sini ketiga nilai tersebut sebagai pilar-pilar yang melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan[11], dan sekaligus sebagai tujuan hukum ketenagakerjaan.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu elemen negara hukum adanya hak asasi manusia sebagai hak dasar, yang secara alamiah telah melekat pada diri manusia sejak ia lahir dan tidak dapat dicabut sedemikian rupa, jika dicabut hak tersebut maka kehadirannya  dalam ranah sosial akan hilang eksistensinya sebagai manusia. Hal ini sesuai pernyataan  Wolhoff, bahwa sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum pribadi manusia justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh siapapun karena bila dicabut hilang juga kemanusiaannya itu[12]”.
Masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945, sebagai jaminan adanya penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, selain itu sebagai salah satu syarat untuk terpenuhinya unsur negara hukum. Demikian pula hukum sebagai sarana untuk mencapai ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan dalam mengatur mengenai hak warga harus dapat menunjukkan jaminan perlindungan hak atas pekerjaan yang layak, bebas memilih pekerjaan, hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan, hak atas upah yang adil serta syarat-syarat perjanjian kerja proposional[13]. Hak yang lain, mendirikan serikat pekerja serta tidak boleh untuk menghambat para pekerja sebagai anggotanya[14].
Dalam mendukung prinsip hak asasi, John Rawls[15], melalui karyanya A Theory of Justice, menyatakan bahwa : Pertama, prinsip-prinsip umum keadilan mendasari pelbagai  keputusan moral ; Kedua, cita keadilan terletak pada struktur sosial (masyarakat), seperti :  lembaga sosial, politik, hukum, ekonomi. Struktur masyarakat, meliputi konstitusi, pemilikan pribadi atas sarana/ prasarana produksi, pasar kompetitif yang membutuhkan kerja sama semua pihak ; Ketiga, prinsip kebebasan yang sama bagi semua orang (kebebasan dalam memperjuangkan hak dan/ atau kepentingan hukum), yang di dalamnya terkandung aspek perbedaan dan persamaan, yakni prinsip perbedaan sosial serta ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung seperti kesejahteraan, pendapatan dan otoritas, sedang prinsip persamaan, yakni berkeadilan atas kesempatan. Hal ini bermakna bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebebasan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia)[16].
Selaras dengan hal di atas, Dahlan Thaib mengatakan bahwa ada 15 (limabelas) prinsip hak asasi manusia, yaitu[17] :
(1).   Hak untuk menentukan nasib sendiri ;
(2).   Hak akan warga negara ;
(3).   Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum ;
(4).   Hak untuk bekerja ;
(5).   Hak akan hidup layak ;
(6).   Hak untuk berserikat ;
(7).   Hak untuk menyatakan pendapat ;
(8).   Hak untuk beragama ;
(9).   Hak untuk membela negara ;
(10). Hak untuk mendapatkan pengajaran ;
(11). Hak akan kebebasan sosial ;
(12). Hak akan jaminan sosial ;
(13). Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan ;
(14). Hak mempertahankan tradisi budaya ;
(15). Hak mempertahankan bahasa daerah.
Dari beberapa prinsip hak asasi yang dikemukakan Dahlan Thaib tersebut di atas, yang bersentuhan langsung dengan prinsip hubungan kerja, yakni hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum, hak untuk bekerja, berserikat dan berpendapat, hidup layak dan hak atas jaminan sosial. Hak dasar inilah yang harus ada dalam setiap hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Dari uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa masuknya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 menunjukkan adanya jaminan hukum, dan demokrasi sebagai suatu opsi dalam sistem pemerintahan dan merupakan manifistasi dari pelaksanaan HAM.
Dengan demikian tegaknya demokrasi harus sinergi dengan rule of law. Tegaknya supremasi hukum harus sesuai dengan ide/cita hukum sebagaimana prinsip negara hukum yang demokratis. Demikian pula dalam menegakkan serta melindungi hak asasi manusia, pemerintah wajib melaksanakan sesuai ketentuan hukum (undang-undang).
Hukum ketenagakerjaan yang berperan mengatur keajekan hubungan kerja, selain pengaturannya melalui peraturan perundang-undangan terbit pula melalui bentuk peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, dan perjanjian kerja.
Pada dasarnya ketentuan hukum ini, berlandaskan pada asas kepastian, keadilan,  manfaat, keseimbangan kepentingan, musyawarah-mufakat, serta persamaan kedudukan dalam hukum. Asas-asas ini mempunyai nilai sebagai cita hukum ketenagakerjaan dalam memberikan landasan bagi perlindungan dan penegakan hukum bidang ketenagakerjaan.
Hak dan perlindungan hukum bagi pekerja yang bersumber dari Undang-Undang No.13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain (aspek hukum) :
  1. Hak dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja ;
  2. Hak dan perlindungan kesejahteraan (Jamsostek) ;
  3. Hak dan perlindungan kebebasan berserikat ;
  4. Hak dan perlindungan pemutusan hubungan kerja terselubung atau sepihak ;
  5. Hak dan perlindungan pengupahan  ;
  6. Hak dan perlindungan waktu kerja (meliputi : kerja lembur) ;
  7. Hak dan perlindungan kepentingan ibadah, melahirkan, haid, cuti tahunan, istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan ;
  8. dan lain perlindungan yang bersifat normatif.
      Perlindungan hukum yang bersumber dari peraturan perusahaan/ perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama (syarat-syarat kerja yang belum diatur atau peningkatan kualitas atas standar minimum  peraturan perundang-undangan), antara lain :
  1. Fasilitas kesejahteraan (koperasi, klinik, perumahan, dan keluarga berencana), kantin, rekreasi, olah raga, tempat beribadah dan penitipan anak) ;
  2. Gaji berkala dan tunjangan tetap ;
  3. Bonus akhir tahun dan bonus berdasarkan prestasi ;
  4. dan lain perlindungan yang ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan, perjanjian kerja.
Penggunaan sarana hukum yang bersifat otonom ini cenderung lebih mengadopsi (walapun tidak secara keseluruhan), atau penyesuaian diri yang bersifat tambal sulam dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Perlindungan hukum bagi pihak pengusaha yang bersumber dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, antara lain (aspek hukum) :
  1. Upah tidak dibayar, jika pekerja tidak bekerja bukan atas kehendak pengusaha atau perusahaan (no pay, no work) ;
  2. Hak mutasi terhadap pekerja untuk kepentingan perusahaan ;
  3. Hak mengatur, dan perintah untuk melakukan pekerjaan ;
  4. Hak sanksi bagi pekerja yang terbukti melakukan pelanggaran perjanjian kerja,  peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama ;
  5. Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang melakukan pelanggaran hukum;
  6. Pemutusan hubungan kerja dalam masa percobaan ;
  7. dan lain perlindungan yang bersifat normatif.
Ketentuan hukum yang memberi perlindungan bagi pengusaha dimanfaatkan oleh yang bersangkutan untuk kepentingan usahanya, sedangkan aturan hukum yang memberi perlindungan kepada pihak pekerja kurang dipatuhi pengusaha. Hal ini karena posisi tawar pekerja kurang dapat mengimbangi “kekuatan” pengusaha. Dalam hal ini peran pemerintah selaku pengawas bidang ketenagakerjaan diharapkan berfungsi  sebagai social control dan melaksanakan pengawasan/ penindakan terhadap pelanggaran hukum ketenagakerjaan.
Dengan demikian hukum ketenagakerjaan telah memenuhi persyaratan formil dan materiil sebagai hukum yang memberikan pengayoman, kepastian hukum (asas legalitas), serta sebagai salah satu pilar dalam suatu negara hukum yang menjunjung tinggi tegaknya supremasi hukum (the rule of law). Keberadaan hukum ketenagakerjaan medasarkan pada asas keseimbangan yang bernilai keadilan dan kemanfaatan, di mana kepentingan pekerja mendapat proteksi melalui peran pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penindakan terhadap perbuatan dan pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dibidang ketenagakerjaan. Dari aspek perdata, dapat memanfaatkan sarana Pengadilan Hubungan Industrial, yang diawali penggunaan sarana bipartit, mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase, dan selanjutnya tahap proses pemeriksaan melalui Pengadilan Hubungan Industril dalam upaya menggapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan, yakni menjaga ketertiban jalinan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Dalam rangka menjaga ketertiban, perlu pedoman berperilaku yang berbentuk hukum normatif (kepastian hukum), dan diarahkan pada cita hukum, yaitu keadilan maupun kemanfaatan. Ketiga nilai tersebut melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan, disamping itu Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan kasta yang sama dihadapan hukum (Equality before of the Law). Hukum ketenagakerjaan dalam konstitusi hukum (Indonesia) merupakan implementasi dari falsafah dasar, yakni Pancasila dan teori dasar (UUD. 1945). Nilai dasar tersebut mempunyai aspek kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan. Kepastian ini sekaligus mencerminkan nilai keadilan, yang memberi kemanfaatan bagi kelangsungan hidup pekerja dan pengusaha dalam koridor perusahaan.

Pustaka
Asshiddiqie J. 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945, Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, UI. Jakarta.
Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta.
Azhary Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.
Djoko Heroe S. 2006. Eksistensi Hukum Ketenagakerjaan Dalam Menciptakan Hubungan Kemitraan Antara Pekerja Dengan Pengusaha, Disertasi, Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Fadjar A. Mukthi. 2004. Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
Hutagalung TH. 1995. Hukum dan Keadilan dalam Pemikiran Filsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung.
Ibrahim Johnny. 2006. Teori, dan Metodologi Penelitian Hukum Positif, Bayumedia, Malang.
Koko Kosidin. 1996. Aspek-Aspek Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Lingkungan Perusahaan Perseroan, Disertasi, Fakultas Hukum Univ. Pajajaran, Bandung.
Majda El-Muhtoj. 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jkt.
Marzuki Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Mertokusumo Sudikno dan Pittlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
Pujirahayu EW. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum, FH., Universitas Diponegoro, Semarang.
Rahardjo S. 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
Rawls John. 1971. A Theory of Justice, The Belknap Press 0f Harvard University Press  Cambridge, Massachusetts, America.
Sri Soemantri M. 2000. Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Hukum, Makalah, Seminar, Kerjasama Universitas Pajajaran  dan Lembaga Ketahanan Nasional, Bandung.
Sri Soemantri. 1977. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung.
Souhoka ML. 1997. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Sebagai Sarana Perlindungan Hukum, Disertasi,  Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.

Peraturan Perundang-undangan :
UU. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kamus Hukum :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Simorangkir, Rudy TE dan Prasetyo. 1980. Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta.
Subekti dan Tjitrosoedibio. 1982. Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

 sumber: klik

Terimakasih telah berkunjung. Silakan meninggalkan komentar, bertanya, atau menambahkan materi yang telah saya sediakan.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال