Nusa Dua - Implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan dapat menjadi peluang bagi
industri asuransi umum untuk ekspansi ke negara-negara anggota ASEAN
sebagai pasar yang baru.
Oleh karena itu, asuransi umum dan reasuransi di Indonesia harus mempersiapkan kapasitas, modal, dan menjaga risiko.
Demikian disampaikan Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non
Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly F Pardede pada 20th Indonesia
Rendezvous bertema Robust Indonesia Reinsurance Company Forthcoming the
ASEAN Community, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Asuransi Umum
Indonesia (AAUI) di Nusa Dua, Bali, Kamis (16/10).
Implementasi MEA dalam sudut pandang yang kompleks, kata dia,
merupakan peluang sekaligus tantangan negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia. Di dalam negeri, asuransi umum perlu menangkap peluang dari
jumlah populasi yang semakin banyak dan pertumbuhan masyarakat kelas
menengah. "Ini adalah paket peluang yang harus dimanfaatkan. Pemahaman
literasi asuransi dan penetrasi di Indonesia juga perlu ditingkatkan,
perlu dipikirkan agar asuransi di Indonesia menjadi suatu hal yang
dibutuhkan," ujar dia.
Indonesia adalah pasar potensial bisnis asuransi, sehingga akan menjadi target
market
bagi perusahaan asuransi asing. Untuk itu, industri asuransi umum
nasional jangan hanya terpaku di dalam negeri. Sebab, negara-negara
ASEAN juga akan menjadi pasar baru. "Jadi, kalau kita hanya berpikir
peluang pasar di Indonesia saja, rasanya kurang pas. ASEAN adalah pasar
yang juga perlu kita kembangkan. MEA adalah wilayah baru bagi kita untuk
dikembangkan," kata Dumoly.
Terkait itu, OJK terus mendorong pertumbuhan industri asuransi,
mendorong pemasaran hadirnya produk asuransi mikro, memberi kesempatan
industri membuat produk baru, serta dan segera meluncurkan operasional
perusahaan reasuransi besar nasional (giant re).
OJK juga mendorong agar perusahaan asuransi memiliki modal kuat
sesuai ketentuan, meski sampai saat ini masih ada beberapa asuransi
berjuang untuk memenuhi ketentuan itu. "Untuk itu, kami mengajak dan
membuka kesempatan agar perusahaan asuransi menambah modal. Misalnya,
kami berikan insentif
risk based bagi mereka yg mencari dana di pasar modal," jelas dia.
Pengawasan OJK terhadap perasuransian juga beralih dari metode pengawasan berbasis kepatuhan menjadi
risk based. Tahun depan, ujar Dumoli, perusahaan asuransi umum harus sanggup menjaga
rating
perusahaan, memperkuat retensi dan mendorong kapasitas di dalam negeri.
"Hal lain adalah memacu kesiapan menghadapi MEA, meningkatkan
permodalan, dan menjaga risiko," kata Dumoli.
Pada kesempatan itu, Chairwomen Organizing Committee Indonesia
Rendezvous-20/2014 Debie Wijaya mengatakan, sejak tahun 2008, Indonesia
dikenal sebagai negara yang berkembang dan mencapai
gross domestic product (GDP)
US$ 3.000 per kapita. Pada 2012, pertumbuhan GDP mencapai 11 persen dan
pertumbuhan industri asuransi Indonesia mencapai 16,3 persen.
"Namun, pertumbuhan industri asuransi itu tidak diikuti peningkatan
kapasitas reasuransi di dalam negeri, sehingga ini juga mengontribusi
defisit neraca pembayaran Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Oleh
karena itu, pemerintah berinisiatif membuat perusahaan reasuransi lokal
besar
(giant re)," ujar dia.
Pada The 20th Indonesia Rendezvous yang berlangsung pada 15-18
Oktober 2014 ini, ujar Debie, akan membahas mengenai ide pembentukan
giant re bagi kebutuhan asuransi di dalam negeri dan hubungannya dengan implementasi MEA.
Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor menambahkan, The 20th Indonesia
Rendezvous diikuti oleh 500 peserta dari 12 negara. Ini merupakan forum
tahunan untuk memfasilitasi pelaku industri umum dalam negeri, karena
setiap tahun akan membuat perjanjian (treaty) baru dengan reasuransi
(lokal dan asing).
"Mereka harus bertemu sebelum memulai bisnis pada tahun selanjutnya.
Treaty
itu berlaku pada Januari," ujar dia. Julian menambahkan, tahun ini,
hadir dua perusahaan reasuransi asal Timur Tengah yang melihat potensi
pasar di Indonesia.
Sumber:
Berita Satu